Selasa, 01 Februari 2011

REDD+ HTI

1.  Hutan Rimbun
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan hutan produksi seluas 645.249 hektar.  Kawasan tersebut adalah ekosistem rawa gambut yang terdegradasi yang rawan kebakaran.  Sebelum mengalami degradasi, kawasan tersebut merupakan hutan primer yang yang kayunya dimanfaatkan dengan izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang pengelolaannya tidak berkelanjutan.
Pasca periode HPH, PT. SBA mendapatkan izin konsesi membangun HTI pada kawasan tersebut seluas 142.235 hektar atau 22,04 persen dari luas total.  Dua perusahaan lainnnya, satu Grup Sinar Mas dengan PT. SBA, mendapat konsesi yang sama di wilayah tersebut.  Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT. BMH dan PT. BAP, masing-masing seluas 250.370 hektar dan 192.700 hektar.  Total seluruh konsesi menjadi 585.305 hektar atau 90,71 persen dari total luas hutan produksi. 
Perusahaan HTI dikenakan ketentuan hanya menanami lahannya dengan tanaman pokok sistem THPB sebesar 70,0 persen. Sisa lahan yang lainnya sebesar 10,0 persen untuk konservasi, 10,0 persen untuk pengembangan tanaman unggul lokal yang bernilai tinggi, 5,0 persen untuk tanaman kehidupan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan 5,0 persen untuk sarana dan prasarana.
Luas tanam akasia yang telah diusahakan oleh PT. SBA sampai Tahun 2009 yakni  79.526,76 hektar, atau 55,91 persen dari luas konsensi, atau 79,87 persen dari target tanaman pokoknya.  Rata-rata luas tanam per tahun yakni 7.230 hektar, dan dari luas lahan yang tersisa 20.037,74 hektar, diperkirakan pada Tahun 2012 tercapai 100 persen.  Dengan demikian luas tanaman pokok hutan tanaman yang diusahakan oleh PT. SBA mencapai 99.564,50 hektar.
Bila seluruh target tanam tercapai, dengan populasi tanaman 2.000 pohon per hektar dan populasi yang bisa dipanen 90 persen, maka pada lokasi PT. SBA tersebut dengan sistem THPB terdapat sekitar 180 juta pohon.  Satu tahun ditanam dan dipanen pohon sekitar  30 juta pohon, atau perhari sekitar 80 ribu sampai 100 ribu pohon (40 sampai 50 hektar).  Pada periode yang bersamaan, dengan asumsi ketiga perusahaan HTI di kawasan tersebut melakukan kegiatan yang sama, maka setiap hari ditanam dan dipanen pohon sekitar 300 ribu pohon. 
Kehadiran perusahaan HTI pada lahan yang terdegradasi, atau kemungkinan pada kawasan hutan yang tidak produktif atau kawasan hutan yang tidak mempunyai nilai konservasi tinggi yang cenderung terdeforestasi, membuat kawasan menjadi berhutan yang rimbun.  Keberadaan HTI sebagai alternatif reforestasi, memberikan manfaat bagi lingkungan fisik, ekonomi dan sosial. Hal tersebut sebagai suatu solusi dalam menghadapi kenyataan bahwa kawasan hutan di Indonesia cenderung menyusut.  Upaya merestorasi hutan alam belum menunjukkan keberhasilan yang meyakinkan.  Usaha yang dilakukan oleh pemerintah baru pada upaya pengamanan hutan alam dari deforestasi, belum signifikan mengarah kepada reforestasi.
2.  Gambut Bumbun
            Sebelum ada perusahaan HTI yang memanfaatkan lahan rawa gambut terdegradasi dengan hutan tanaman, kawasan tersebut sering mengalami kebakaran gambut.  Dari hasil penelitian bahwa persentase luas kebakaran pada lahan masyarakat sebelum ada HTI yakni sebesar 61,62 persen dan setelah ada HTI berkurang menjadi 15,27 persen, terjadi penurunan sebesar 75,22 persen.  Tebal gambut yang terbakar sebelum periode HTI yakni 21,00 cm per hektar dan setelah ada HTI tebal gambut yang terbakar yakni sebesar 12,20 cm per hektar, terjadi penurunan sebesar 41,90 persen.  Pada lahan HTI PT. SBA, persentase kebakaran hutan pada periode awal, Tahun 1999 sampai Tahun 2002 mencapai rata-rata 87,32 persen, dan periode 2006 sampai 2009 dengan rata-rata sebesar 13,16 persen.
            Keberadaan HTI mempunyai efek mengurangi kebakaran hutan dan sekaligus mencegah kebakaran gambut.  Perusahaan pada musim kemarau secara rutin memantau titik api (hot spot) dari udara, untuk pencegahan kebakaran secara dini, serta membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA).  Pada lokasi konsesi PT. SBA terdapat sekitar 30 persen lahan gambut yang mesti dilindungi yang berada pada kedalaman di atas tiga meter.  
Pohon akasia yang diusahakan menghasilkan serasah, yang dalam jangka panjang dapat terdekomposisi menjadi bahan organik.  Rata-rata serasah dari dedaunan akasia yang gugur dan tumbuhan bawah mencapai 3,85 ton, dan dari biomasa yang tertinggal setiap panen mencapai 91,44 ton per siklus tanam 6 tahun atau sekitar 15,24 ton per hektar per tahun.  Total serasah dan biomasa yang tertinggal yakni sebesar 19,09 ton per hektar per tahun, atau terdapat pertambahan sekitar 286.350 ton per tahun dengan target rotasi tanam 15.000 hektar per tahun.  Pembangunan kanalisasi dengan mempertahankan permukaan air 30 sampai 90 cm dan penerapan sistem jarak tanam yang relatif rapat yang menyebabkan pertautan akar tanaman akasia satu sama lainnya dapat memperlambat subsidensi gambut.
Kondisi tersebut dengan terjadinya penutupan lahan oleh tanaman akasia, pencegahan dini kebakaran hutan dengan pemantauan titik api, adanya kelompok MPA, serta sistem kanalisasi dapat  memperlambat hilangnya gambut bahkan mencegah kehilangan gambut.  Dedaunan, ranting tanaman dan tumbuhan bawah yang membusuk berproses menjadi serasah, serta biomasa yang tertinggal dari kegiatan panen berpotensi menambah persediaan bahan organik tanah. Dengan demikian cadangan gambut dapat diamankan dan berpotensi membumbun.

3.  Emisi Turun
            Akasia yang ditanam pada lahan gambut jenis saprik yang terdegradasi pada kedalaman 90 sampai 100 cm menghasilkan berat biomasa 33,32 ton per tahun, dengan serapan karbon sebesar 16,64 ton atau sebesar 61,08 ton CO2 per hektar per tahun.  Total serapan karbon dari pohon, serasah dan tumbuhan bawah mencapai 18,65 ton atau sebesar 68,47 ton CO2 per hektar per tahun.   Pengusahaan HTI akasia bila tanaman tidak dipanen, setelah dikurangi baseline, emisi tanah dan kebocoran menghasilkan tambahan serapan karbon (above ground biomass) sebesar 14,51 ton (53,25 ton CO2).  Bila kayu dipanen, maka karbon yang tertinggal pada lantai dan di dalam tanah sebesar 6,17 ton C atau 22,64 ton CO2 per hektar per tahun.
            Dengan adanya tambahan serapan karbondioksida tersebut, berarti akasia yang ditanam pada lahan gambut jenis saprik yang terdegradasi dengan kedalaman sekitar satu meter dapat meyerap karbon yang menurunkan emisi.  Jika seluruh konsesi PT. SBA telah ditanami dengan akasia, maka besarnya serapan emisi mencapai sekitar 2.25 juta ton CO2 per tahun.  Besarnya perlindungan emisi dan serapan karbon, bila dihitung dari pencegahan kebakaran gambut pada batas kedalaman sekitar 1,0 meter walaupun terjadi subsidensi (above and below ground biomass), yakni mencapai sekitar 13,01 ton C atau sebesar 47,75 ton CO2 per hektar per tahun pada kondisi kayu dipanen.  Potensi total keseluruhan perlindungan emisi dan serapan karbon tersebut sekitar 4,75 juta ton CO2 per tahun.
            Jika ketiga perusahaan HTI di kawasan tersebut telah 100 persen melakukan penanaman HTI pada 70 persen lokasi konsesinya, maka total serapan dan pencegahan emisi, dengan asumsi menggunakan nilai yang diperoleh dari hasil penelitian ini, berpotensi mencapai sekitar 20 juta ton CO2 per tahun.  Angka penurunan dan pencegahan emisi akan lebih meningkat lagi bila perusahaan HTI secara bersamaan melaksanakan ketentuan menanami 25 persen lahan lainnya.  Pembangunan HTI dapat merupakan pembangunan yang menghasilkan karbon rendah, mencegah atau mengurangi emisi karbon tinggi.
                                                       4.  Biodiversitas Tambun        
Suasana kawasan ekosistem rawa gambut, yang sebelumnya hanya semak belukar, menjadi rimbun dengan banyaknya pohon sbagai tempat berkembang biaknya jenis burung dan serangga.  Jenis burung yang banyak berkembang di antaranya adalah burung walet.  Burung walet mendapatkan sumber makanan dari serangga yang berkembang di populasi tanaman akasia yang rimbun.  Aneka ragam biodiversitas diprediksi akan semakin berkembang, apabila perusahaan telah memenuhi kewajiban multi kultur dalam kegiatan konservasi hutan, pengembangan tanaman unggulan dan tanaman kehidupan.  Jenis serangga lainnya yang berkembang yakni lebah.  Burung walet dan lebah mulai diusahakan oleh pengusaha masing-masing untuk mendapatkan sarang burung walet dan lebah madu.
Sistem kanalisasi atau tata air mikro di areal HTI memberikan ruang gerak untuk berkembangnya ikan sungai.  Sebelum ada HTI, ikan yang naik ke areal rawa akan tertinggal di cekungan bila musim kemarau tiba.  Ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengeksploitasi ikan dengan “sistem sonor”.  Cara tersebut yakni melakukan penangkapan ikan dengan membakar pinggiran cekungan rawa yang dangkal hingga ikan mengumpul pada suatu titik. Kanalisasi mencegah penumpukan ikan pada suatu tempat, dan pihak perusahaan melarang masyarakat mengeksploitasi ikan di dalam kanal milik perusahaan.
Dari kondisi tersebut bahwa keberadaan HTI dengan kegiatan reforestasi kawasan yang terdegradasi selain bertujuan bisnis, dapat memulihkan suasana kawasan yang berhutan dengan pepohonan yang rimbun, dan diprediksi bakal berkembang biaknya atau tambunnya aneka ragam biodiversitas.  Banyak jenis flora maupun fauna yang bermunculan dan mulai berkembang tidak dilakukan identifikasi pada penelitian ini.  Pada penelitian ini yang dapat diinformasikan hanya dua jenis fauna tersebut yang mulai dikembangkan oleh masyarakat setempat untuk diambil manfaat ekonominya.

5.  Rakyat Santun
            Keberadaan HTI memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan juga masyarakat dari luar desa dan perkotaan.   Telah terjadi perubahan ke arah yang positif yang menuju ke arah peningkatan kesejahteraan.  Masyarakat lokal mengalami perubahan mata pencaharian, penghasilan, taraf hidup, pola pikir, dan interaksi sosial.
            Mata pencaharian masyarakat sebelum HTI lebih dominan sebagai nelayan atau penangkap ikan di sungai-sungai dan rawa, sebagai buruh penebang kayu pada perusahaan HPH, dan jasa transportasi air.   Setelah berakhirnya kegiatan perusahaan kayu, masyarakat banyak meninggalkan desa mencari pekerjaan lain di luar desa bahkan ada yang merantau ke daerah lain di luar kabupaten.  Dari responden yang dicacah, banyak yang kini kembali ke desa mencari nafkah dari keberadaan HTI.  Sumber nafkah yang muncul dari keberadaan HTI seperti menjadi buruh HTI, penyewaan perahu motor, berdagang, pengusahaan sarang burung walet, dan pengembangan kegiatan usahatani. 
            Penghasilan masyarakat dengan kehadiran perusahaan HTI meningkat sebesar 47,65 persen dibandingkan dengan sebelum HTI pasca kegiatan HPH.  Sumber penghasilan yang terbesar, baik sebelum maupun pada periode HTI, berasal dari penangkapan ikan dan jasa transportasi air.  Penangkapan ikan sudah banyak yang mencari ke laut tidak di sungai lagi.  Nilai penjualan ikan relatif sama tetapi pada kondisi sekarang walaupun volume tangkapan lebih kecil tetapi harga jual lebih tinggi, dibandingkan dengan sebelumnya dengan volume tangkapan yang besar tetapi harga jual ikan rendah.  Sumber penghasilan lainnya setelah ada HTI yakni sebagai buruh HTI yang menggeser sumber penghasilan yang berasal dari pekerjaan mencari kayu di hutan.  Sumber penghasilan yang mempunyai potensi yang besar ke depan diprediksi dari kegiatan sarang burung walet, apalagi masyarakat setempat banyak yang melakukan kemitraan usaha dengan pedagang dari Palembang dan Jakarta.  Di desa sekitar HTI tumbuh rumah-rumah walet dengan investasi mulai puluhan juta sampai ratusan juta rupiah, yang lokasi usahanya kebanyakan berada di bekas pembibitan HTI.
            Meningkatnya penghasilan masyarakat akan mempengaruhi taraf hidup.  Hal tersebut tercermin dari semangkin meningkatnya pengeluaran masyarakat untuk pendidikan, di luar kebutuhan pangan dan perumahan.  Pengeluaran masyarakat lainnya yang meningkat adalah untuk keperluan hiburan dan rokok.  Secara umum, peningkatan kebutuhan masyarakat selain untuk pangan dan perumahan meningkat sebesar 40,55 persen setelah keberadaan HTI.
            Pola pikir masyarakat di lokasi penelitian relatif lebih luas, dimana dalam pemenuhan nafkah tidak bergantung pada kegiatan yang berbasis lahan yang mengusahakan pertanian bercorak subsisten.  Sampai sekarang masyarakat tidak pernah melakukan demo menuntut lahan untuk kegiatan pertanian atau untuk status sosial.  Tidak terjadi konflik tenurial antara masyarakat dengan perusahaan HTI.   
Pendapatan masyarakat sekitar HTI PT. SBA setara dengan perhitungan perolehan pendapatan dari pengusahaan 48,0 sampai 113,0 hektar akasia (luas panen akasia berkisar 8,0 sampai 19,0 hektar per tahun).  Sedangkan pendapatan petani transmigrasi, yang belum terlibat kegiatan HTI, dari kegiatan usahatani berbasis lahan hanya setara luas panen akasia 3,0 sampai 4,0 hektar per tahun, atau sekitar 8,0 sampai 19,0 hektar luas tanam akasia.   Pendapatan masyarakat sekitar HTI sudah melampaui standar kebutuhan hidup layak (KHL) buruh perkotaan di Sumatera Selatan sebesar 13,2 juta rupaih per tahun, atau setara 5,0 hektar luas panen akasia per tahun.   Pendapatan masyarakat sekitar HTI akasia antara 23 juta sampai 53 juta rupiah per tahun, sedangkan petani yang melakukan kegiatan usahatani berbasis lahan pendapatannya sekitar 10 juta rupiah per tahun.  Rendahnya pendapatan petani yang berbasis lahan tersebut karena dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil masuk dalam jeratan “sistem tengkulak” dengan perhitungan bunga bisa mencapai 25 persen per musim tanam selama lima bulan atau sekitar 60 persen per tahun.  Bila harga sarana produksi dan harga jual padi berdasarkan pasar desa tempat petani tinggal, maka pendapatan petani bisa ditingkatkan menjadi 60 persen.  Kendala yang dihadapai petani yakni tidak tersedianya dana tunai membeli input yang dibutuhkan, dan tidak mempunyai akses dalam pemasaran hasil.
Masyarakat sekitar HTI mempunyai interaksi sosial dengan keberadaan HTI, dimana banyak pendatang dari luar komunitas setempat yang menjadi buruh dan karyawan HTI.  Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan HTI dalam suatu rotasi dibutuhkan 137 hari kerja pria (HKP) dengan 8 jam kerja per hari, atau 23 HKP per tahun atau 0,06 HKP per hari, setara sekitar 6 orang per 100 hektar setiap hari.  Kebutuhan tenaga kerja atau buruh setiap harinya bila lahan PT. SBA sudah ditanam semua, yakni berkisar 6.000 orang tenaga kerja per hari, bila tidak disubsitusi dengan mesin-mesin pertanian dan bahan kimia pertanian.
Kondisi tersebut di atas terpenuhi kebutuhan masyarakat sekitar HTI dengan beraneka ragam sumber nafkah dan terjadinya peningkatan penghasilan menyebabkan tidak terjadinya konflik antara masyarakat dengan masyarakat.  Masayarakat tidak melakukan demo menuntut lahan dan menghentikan merambah hutan.  Masyarakat atau rakyat tersebut menjadi santun, yang merasa puas dengan manfaat yang diterima.

6.  Negara Anggun
            Upaya implementasi REDD+ penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia mulai dilaksanakan dengan adanya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia pada Tanggal 27 Mei 2010.  Indonesia mendapat hibah kontribusi pendaanaan sebesar satu milyar dollar US.   Kegiatan dilakukan dalam tiga tahapan, yakni:  Tahap I, tahap persiapan pada Tahun 2010; Tahap II, tahap transformasi pada Tahun 2011 sampai 2013; Tahap III, tahap implementasi pada Tahun 2014 sampai 2016.   Implementasi REDD+ tersebut dilaksanakan pada satu provinsi percontohan.  Kontribusi pendanaan tahunan yang diberikan tersebut, pengucurannya tergantung pada persetujuan Parlemen Norwegia, berdasarkan kinerja dari kegiatan konservasi hutan yang dilakukan serta tidak terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Dirjen BPK Kemenhut RI, 2010).
            Adanya ketentuan pengucuran kontribusi dana tahunan tersebut yang harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Parlemen Norwegia merupakan cambuk bagi bangsa Indonesia, agar proyek tesebut berhasil sesuai yang dipersyaratkan.  Keberhasilan dalam pelaksanaan proyek akan membuat citra yang baik di tingkat dunia pada keberhasilan dalam pelestarian hutan di Indonesia.  Sebaliknya, kegagalan akan menambah citra buruk tentang kinerja Indonesia dalam pengelolaan hutan, apalagi selama ini laju deforestasi dan degradasi masih terus berlangsung.  Bila penilaian dari pihak yang berkompeten dari Pemerintah Norwegia ternyata tidak memuaskan hasilnya terhadap implemetasi REDD+ tersebut, hendaknya Indonesia berbesar hati dengan tidak mengemukakan berbagai argumentasi untuk tetap meminta kuncuran kontribusi dana.   Hal tersebut untuk menjaga martabat Indonesia tetap terhormat, sebagai negara dan bangsa yang anggun.
            Mencermati investasi yang dilakukan oleh PT. SBA pada usaha HTI dengan biaya penanaman akasia sekitar 10 juta per hektar, maka total investasi berkisar satu trilyun rupiah selama enam tahun.   Setiap tahunnya diprediksi terjadi perputaran uang, dari hasil panen kayu pada lahan sekitar 15 ribu hektar dengan produksi rata-rata sebesar 100 ton kayu per hektar dan harga Rp276.500,00 per ton, sebesar sekitar 415 milyar rupiah.  Bila ketiga perusahaan HTI di kawasan tersebut telah menanami sekitar 400 ribu hektar dengan tanaman akasia, maka investasi di wilayah tersebut mencapai sekitar empat trilyun rupiah, mendekati separoh dari dana hibah REDD+ Pemerintah Norwegia tersebut.  Perputaran uang dari kegiatan HTI tersebut per tahun sekitar 1,66 trilyun rupiah. 
            Dari gambaran tersebut bahwa konsep pembangunan HTI merupakan suatu konsep “pelestarian hutan simultan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat”.  Hal tersebut karena HTI menerapkan sistem tebang habis dan permudaan buatan (THPB) dengan rotasi yang teratur.  Pertumbuhan ekonomi akan semakin tinggi bila dikaitkan dengan sektor hilir.  Dalam penelitian ini hanya dihitung besarnya nilai tambah dari produk kayu menjadi pulp, tidak sampai pada produk kertas dan turunan lainnya, yang mencapai sekitar lima kali lipat.  Ini dapat diprediksi bahwa perputaran uang dari tiga Grup Sinar Mas di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan pada kegiatan sektor hulu dan pengolahan produk primer bisa sekitar delapan trilyun per tahun.
            Pertumbuhan ekonomi akibat dari pembangunan HTI dibandingkan dengan kegiatan konservasi hutan alam tentunya berbeda, secara hipotetik pertumbuhan ekonomi HTI lebih tinggi.  Kegiatan HTI terjadi perputaran uang karena ada kegiatan tebang dan tanam secara berkala setiap tahunnya, sedangkan pada hutan alam tidak dilakukan.  Pertumbuhan ekonomi dari konservasi hutan alam lebih ditujukan untuk memperoleh manfaat hasil hutan bukan kayu (HHBK), termasuk insentif karbon REDD+ yang diperdagangkan dalam pasar karbon dengan mendapatkan CERs (Certified of Emission Reductions), yang sampai akhir Tahun 2010  belum ada ketentuan mengikat.
Hasil penelitian yang telah dilakukan ini, diperoleh harga bayang (shadow price) karbon berdasarkan perolehan manfaat kayu akasia bila kayunya tidak ditebang, yang dapat dipertimbangkan dalam konservasi hutan alam, yakni sekitar USD 9,0 per ton CO2.  Petani yang hidup di sekitar hutan dengan kegiatan usahatani subsisten mempunyai pengeluaran di bawah KHL sekitar 10 juta rupiah per tahun, atau setara sekitar nilai 110 ton CO2.  Bila pendapatan setara dengan KHL yakni sekitar 13,2 juta rupiah per tahun maka akan setara sekitar nilai 150 ton CO2.  Besarnya CO2 yang dihasilkan dari hutan alam dengan produktivitas biomasa per tahun sebesar 4,0 ton, yakni sebesar 7,34 ton per hektar (Cheol, dalam Sumitro 2005; dan Brown, 1997).  Ini berarti bahwa untuk pelibatan masyarakat dalam pengaman hutan dengan pola SUPK agar supaya mendapatkan pendapatan setara KHL, yakni dibutuhkan luas hutan alam sekitar 20,0 hektar.  Pengeluaran petani dengan usahatani susbsiten yang hidup sekitar hutan, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, yakni membutuhkan penghasilan setara pengusahaan akasia seluas sekitar 22,0 hektar.
Nilai perhitungan harga karbon yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dipertimbangkan bagi pihak yang bermaksud mendapatkan CERs agar memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan skala luas hutan yang mampu dikontrol atau diusahakan masyarakat.  Semakin rendah harga karbon semakin besar skala luas luas hutan yang menjadi tanggung jawab masyarakat untuk dilestarikan.  
Masyarakat sekitar HTI dan sekitar hutan yang memperoleh pendapatan dari keberadaan HTI atau yang dari kegiatan usahatani berbasis lahan belum memikirkan sumber pendapatan dari insentif karbon.  Masyarakat sudah merasa puas tentang peroleh pendapatan yang ada karena sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup.  Walaupun demikian insentif karbon bila telah dapat didistribusikan kepada masyarakat, agar mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan agar tidak berada di bawah KHL.
Pemanfaatan kawasan hutan yang terdegradasi, tidak produktif, atau yang bernilai konservasi rendah cenderung mengalami deforestasi agar dipertimbangkan pemanfaatannya  bagi hutan tanaman dengan meminimalkan dampak negatif bagi lingkungan.  Pelestarian kawasan hutan tanpa diikuti dengan perolehan dan peningkatan hasil bagi masyarakat sekitar hutan, apalagi tanpa penegakkan hukum bagi peerusak hutan, diprediksi akan menyebabkan berlanjutnya laju deforestasi dan degradasi.  Besarnya manfaat pembangunan HTI menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk ke depan dapat menjual karbon secara terhormat atau anggun bila negara-negara penghasil emisi yang terbesar diharuskan memiliki “kredit emisi”.
Dari rangkaian uraian-uraian tersebut di atas dapat diperoleh postulat, dalil ilmu pengetahuan dan teori baru.  Dari hasil penelitian ini, pada setiap tujuan penelitian dari hasil yang diperoleh dapat dirumuskan beberapa postulat penelitian, yakni:
1.      Hasil penelitian dari tujuan pertama tentang manfaat HTI dengan postulat: “Terbentuknya ekosistem hutan buatan (HTI) pada lahan yang terdegradasi, lahan yang sebelumnya lestari yang dieksploitasi tanpa keberlanjutan, adalah untuk mendapatkan manfaat multiguna use-value dan non use-value”.
2.      Hasil penelitian dari tujuan kedua tentang tambahan pendaman karbon dengan postulat: “Besarnya tambahan pendaman karbon (carbon sequence) pada kegiatan pembangunan ekosistem hutan tanaman mengacu pada data historis dan prediksi laju emisi bila pada ekosistem tersebut tidak dilakukan upaya konservasi”.
3.      Hasil penelitian dari tujuan ketiga tentang tambahan harga karbon dengan postulat: “Karbon sebagai hasil hutan bukan kayu yang dapat ditransaksikan dalam pasar untuk pertimbangan pilihan usaha budidaya perhutanan”.
4.      Hasil penelitian dari tujuan keempat tentang satuan usaha perhutanan kerakyatan dengan postulat: “Keseimbangan skala perhutanan sosial dan insentif yang diperoleh dapat meredam konflik kepentingan antara pemenuhan kebutuhan hidup dengan pelestarian hutan”.

   Dari rangkuman hasil penelitian dan postulat-postulat tersebut, diperoleh dalil ilmu pengetahuan.  Dari segi ekologis pemanfaatan ekosistem yang terdegradasi menghasilkan populasi yang rimbun yang dapat menyerap karbon, terlindungnya gambut dari kebakaran yang menghasilkan emisi, dan berkembangnya dioversitas.  Dari segi ekonomis dan budaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, mencegah konflik kepentingan antara kebutuhan hidup masyarakat dengan pemanfaatan hutan.  Hal tersebut berimplikasi terhadap martabat negara untuk memperdagangkan karbon untuk kesejahteraan masyarakat.  Pengeloaan budidaya perhutanan yang rendah karbon memberikan dampak pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang signifikan,  dengan nilai melampaui prediksi pendapatan karbon menjual karbon dari hutan lestari.  Perhitungan harga karbon yang didasari perolehan manfaat dari perhutanan budidaya hutan tanaman HTI dapat dijadikan bahan pertimbangan bila pasar karbon dapat diimplementasikan. 
Dalil ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, yakni:  “Hutan Rimbun, Gambut Bumbun, Emisi Turun, Biodiversitas Tambun, Rakyat Santun, Negara Anggun”.
Sebagai teori baru yang dikembangkan dari hasil penelitian ini, yakni:  Sebelum terjadi eksploitasi dan deforestasi suatu ekosistem hutan alami yang menyebabkan degradasi dan emisi, atau mempertahankannya tetap lestari demi pencitraan global tetapi masyarakat sekitarnya marjinal, lebih baik ekosistem tersebut dikelola menjadi suatu ekosistem budidaya perhutanan yang rendah karbon untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan